SiPetik PPA, Jurus Senyap Lawan Kekerasan di TTS
SoE, KLtvnews.com – Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) terus menghantui ruang-ruang sosial masyarakat. Deretan kasus memilukan seperti kekerasan verbal dan non-verbal, pelecehan seksual, penganiayaan, perundungan hingga pembunuhan menjadi potret kelam yang menghiasi kehidupan masyarakat TTS. Tragisnya, banyak kasus yang tak tersentuh hukum karena korban dan saksi memilih bungkam. Rasa takut, malu, atau tekanan sosial menjadi penghalang utama.
Namun, keputusasaan bukan pilihan bagi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kabupaten TTS. Di bawah kepemimpinan Ardi Benu, dinas ini memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dengan dukungan sumber daya manusia dan teknologi, P3A melahirkan sebuah inovasi: aplikasi SiPetik PPA – Sistem Pelaporan Tindak Kekerasan Perempuan dan Anak.

“SiPetik ini bukan jurus kunyuk melempar buah seperti dalam cerita Wiro Sableng tapi jurus ini bekerja dalam senyap, menyasar langsung pada akar permasalahan: keberanian melapor dan perlindungan identitas korban.”
Lewat aplikasi SiPetik PPA, korban atau saksi tidak perlu lagi datang ke kantor Dinas P3A. Cukup melalui ponsel pintar, mereka bisa mengirimkan laporan kejadian kekerasan dengan jaminan kerahasiaan. Data masuk langsung ke sistem dan ditindaklanjuti oleh tim lapangan secara profesional dan cepat.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan data resmi, dari Januari hingga akhir Juli 2025, Kabupaten TTS menempati urutan kedua tertinggi jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTT dengan total 146 kasus, di bawah Kota Kupang dengan 176 kasus.
Yang lebih mengejutkan, 89 persen korban adalah perempuan. Dari sisi profesi, pelajar menempati posisi paling rentan dengan 30 persen, disusul oleh ibu rumah tangga sebesar 27 persen, lalu kelompok tidak bekerja sebanyak 16,7 persen. PNS dan petani masing-masing menyumbang 8,3 persen, sementara sisanya berasal dari guru, sopir, dan wiraswasta dengan prosentase 2,8 persen.
Sementara itu, pelaku terbanyak justru berasal dari profesi petani dengan 44,3 persen, disusul oleh tenaga swasta dan guru masing-masing 13,9 persen. Tak kalah mencengangkan, tercatat 5,6 persen pelaku berasal dari kalangan pengurus gereja, yakni diaken dan penatua. “Ini sungguh menyedihkan,” ujar Ardi. “Kekerasan justru lahir dari figur yang seharusnya menjadi pelindung dan teladan.”
Harapan besar disematkan pada aplikasi SiPetik PPA. Pada peringatan Hari Anak Nasional Tingkat Kabupaten TTS, aplikasi ini resmi diluncurkan oleh Bupati Eduard Markus Lioe di Aula Mutis, kantor Bupati. Suasana penuh semangat dan haru menyelimuti prosesi launching tersebut, karena publik tahu—sebuah langkah konkret telah diambil.
Ardi Benu berharap kehadiran SiPetik PPA bukan hanya mencatat laporan, tetapi menjadi gerakan kultural yang menumbuhkan keberanian bersuara dan kesadaran kolektif bahwa kekerasan, sekecil apapun, tak boleh dibiarkan.
“Satu laporan bisa menyelamatkan masa depan satu anak atau satu ibu. Dan satu nyawa yang diselamatkan, nilainya jauh melebihi statistik,” tutupnya.(Polce / KLtvnews.com)
