DaerahHealthInternasionalViral

Potret Buram Penanganan Stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan: Alarm untuk Reformasi Sistemik

SoE, kltvnews.com – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merilis hasil terbaru Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024. Hasilnya memprihatinkan, khususnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Prevalensi stunting di wilayah ini melonjak tajam dari 50,1 persen pada tahun 2023 menjadi 56,8 persen pada tahun 2024. Kenaikan sebesar 6 persen ini menempatkan TTS sebagai salah satu daerah dengan beban stunting tertinggi secara nasional.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten TTS, dr. Ria Carolina Tahun, mengakui peningkatan tersebut. “Kami terima hasil ini. Tapi kami tetap melaksanakan surveilans gizi melalui EPPBGM dan hasilnya 44 persen,” ungkapnya. Menurutnya, data EPPBGM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) dinilai lebih akurat karena menggunakan pendekatan by name by address, sedangkan SSGI hanya berdasarkan survei terhadap 701 anak.

Namun demikian, perbedaan angka tidak mengurangi urgensi situasi. Dokter Ria menyebutkan bahwa lonjakan angka stunting sejalan dengan meningkatnya jumlah ibu hamil dengan status anemia, kekurangan energi kronis (KEK), dan kehamilan pada remaja. Semua faktor ini memperbesar risiko lahirnya anak stunting, yang pada akhirnya berdampak terhadap pembiayaan kesehatan jangka panjang dan kualitas sumber daya manusia.

Dinas Kesehatan Kabupaten TTS sejauh ini menjalankan sejumlah upaya pencegahan pada periode krusial 1.000 hari pertama kehidupan. Program-program seperti pemberian makanan tambahan (PMT) untuk ibu hamil dan ibu dengan KEK, pemeriksaan kehamilan (ANC), imunisasi, distribusi tablet tambah darah, serta promosi inisiasi menyusu dini (IMD) dan ASI eksklusif telah dijalankan. Namun, program-program tersebut tampaknya belum cukup efektif menekan angka stunting.

Menurut dr. Ria, pengentasan stunting tidak bisa berjalan sendiri. Dibutuhkan kerja kolaboratif lintas sektor dengan dinas-dinas konvergensi seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan, Dinas Peternakan, Perikanan,pendidikan, sosial, perumahan rakyat, dan  Dinas Kovergensi lainnya. “Kita perlu duduk bersama untuk menentuk arah penanganan yang lebih komprehensif.  Sayangnya, lemahnya koordinasi antar instansi sering kali menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan intervensi terpadu”.

Fakta kenaikan stunting di TTS bukan sekadar statistik, melainkan cerminan nyata dari kegagalan sistemik dalam tata kelola pemerintahan daerah. Alih-alih menghasilkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat, birokrasi lokal justru menunjukkan lemahnya perencanaan, koordinasi, dan implementasi program yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Fenomena ini menggarisbawahi bahwa kebijakan yang tidak berbasis pada kebutuhan riil masyarakat hanya akan memperpanjang siklus kemiskinan dan ketimpangan sosial. Stunting meningkat, kemiskinan—termasuk kemiskinan ekstrem—makin mengakar.

Kegagalan ini harus menjadi alarm keras bagi semua pihak, terutama pemerintah daerah, untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh dan reformasi kebijakan. Penanganan stunting tidak boleh lagi menjadi agenda seremonial atau rutinitas administratif. Ini harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan daerah—dengan pendekatan lintas sektor yang terukur, transparan, dan akuntabel—guna menyelamatkan generasi Kabupaten TTS yang sehat, cerdas, dan berkualitas. (Polce/kltvnews.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *